Dear Deary....
Hari ini aku termenung dalam bingung yang teramat,
kenapa bibirku senyam senyum sendiri?. Padahal diri tiada pernah seceria ini. Ah,
aku sebagai anak sekolah memang seharusnya hanya punya satu masalah yaitu “PR Matematika”
dan punya satu kebahagiaan yaitu “Libur Panjang”.
Tapi hari ini?, oh sungguh aku bingung, ada apa
dengan diriku?, padahal seminggu lagi ada musuh besar bernama “Ulangan”, tapi kok?.
Saat bercermin aku melihat bibir ini terus tersenyum, saat mandi aku mendengar lisan ini terus bernyanyi, dan saat berjalan ku rasakan tubuh ini semakin bergoyang.
Ini ada apa siiiiiiiiiiiiiiiih......?
***
Glek... entah kenapa wajahku pudar memucat, kakiku
langsung lumpuh tak bergerak, mataku begitu enggan berkedip, dan jantungku malah
berdendang amat keras saat berjumpa dengan sesosok wanita yang baru aku kenal.
Wanita itu bagai dongeng Cinderella, wajahnya ayu, senyumnya
manis, langkahnya anggun, dan ucapnya santun.
“Hay siapa namamu?”, dia tidak menjawab bahkan tak
menatapku. “Oyah kamu tinggal dimana?”, lagi-lagi dia tidak menjawab dan malah
asyik berbincang bersama temannya. “Kamu anak baru ya disekolah ini?”, Oooooo
dia tak menjawaaaaaab, Lha dia malah pergi lagi, apeeeees.
Hahahaa..... Aku tertawa sendiri. Ya iya lah dia
tidak menjawab, wong aku nanyanya dalam hati. Kalo nanya langsung pake lisan
mana berani?.
***
Senyumku merekah, ternyata wanita itu anak baru
disekolahku. Tapi dia kakak kelasku, walaupun umurnya sama. Ia tinggal bersama
kakaknya yang seorang bidan. Dia adalah.....
Lho kok tahu semua tentang dia?. Aku juga gak
ngerti, seminggu ini aku bagai wartawan nanyain tentang dia ke teman-temannya.
“Cieeee Cieeeeee suka ya sama diaaaaaaaa?”,
teman-teman makin menjadi-jadi mengolok karena seringnya aku menanyakan tentang
dia.
Eh tunggu tunggu!, aku juga ingin bertanaya, “Inikah
cinta?”
“Seperti banjir menderas. Kau tak kuasa mencegahnya. Kau hanya bisa ternganga ketika ia meluapi sungai-sungai, menjamah seluruh permukaan bumi, menyeret semua benda angkuh yang bertahan di hadapannya. Dalam sekejap ia menguasai bumi dan merengkuhnya dalam kelembutannya. Setelah itu ia kembali tenang: seperti seekor harimau kenyang yang terlelap tenang. Demikianlah cinta. Ia ditakdirkan jadi makna paling santun yang menyimpan kekuasaan besar.”
“Seperti api menyala-nyala. Kau tak kuat melawannya. Kau hanya bisa menari di sekitarnya saat ia mengunggun. Atau berteduh saat matahari membakar kulit bumi. Atau meraung saat lidahnya melahap rumah-rumah, kota-kota, hutan-hutan. Dan seketika semua jadi abu. Semua jadi tiada. Seperti itulah cinta. Ia ditakdirkan jadi kekuatan angkara murka yang mengawal dan melindungi kebaikan.”
“Seperti banjir menderas. Kau tak kuasa mencegahnya. Kau hanya bisa ternganga ketika ia meluapi sungai-sungai, menjamah seluruh permukaan bumi, menyeret semua benda angkuh yang bertahan di hadapannya. Dalam sekejap ia menguasai bumi dan merengkuhnya dalam kelembutannya. Setelah itu ia kembali tenang: seperti seekor harimau kenyang yang terlelap tenang. Demikianlah cinta. Ia ditakdirkan jadi makna paling santun yang menyimpan kekuasaan besar.”
“Seperti api menyala-nyala. Kau tak kuat melawannya. Kau hanya bisa menari di sekitarnya saat ia mengunggun. Atau berteduh saat matahari membakar kulit bumi. Atau meraung saat lidahnya melahap rumah-rumah, kota-kota, hutan-hutan. Dan seketika semua jadi abu. Semua jadi tiada. Seperti itulah cinta. Ia ditakdirkan jadi kekuatan angkara murka yang mengawal dan melindungi kebaikan.”
“Seperti angin membadai. Kau tak melihatnya. Kau
merasakannya. Merasakan kerjanya saat ia memindahkan gunung pasir di tengah
gurun. Atau merangsang amuk gelombang di laut lepas. Atau meluluhlantakkan
bangunan-bangunan angkuh di pusat kota metropolitan. Begitulah cinta. Ia
ditakdirkan jadi kata tanpa benda. Tak terlihat. Hanya terasa. Tapi dahsyat”
Itulah kutipan yang ku baca di buku “Serial
Cinta Anis Matta”
Yah, seharian ini aku ngubek-ngubek
buku tentang cinta untuk menjawab pertanyaan itu.
“inikah cinta?”
“inikah cinta?”
Tapi sungguh tak ku temui jawaban
itu, bukan tak ada yang menjawab, tapi karena memang terlalu banyak jawaban.
***
Hari demi hari terus berjalan, tak
pernah ku menyapa wanita itu. Nyaliku yang amat ciut menjadi faktor utama. Dia seorang
yang baik dan cantik, jadi rebutan lelaki sesekolah, juga sebagai kakak
kelasku.
Tapi aku berterima kasih padanya,
sebab karenanyalah akhirnya aku mendapat nilai besar dikelas. Lho kok bisa?. Yap,
karena aku jadi siswa paling rajin sekolah kala itu. Sebelum-sebelumnya, pusing
dikit udah izin gak masuk, tapi sekarang sakit agak parah juga dipaksain
sekolah.
Apakah karena ingin melihat wanita
itu?. Entahlah, yang pasti kalo dia tidak sekolah aku murung.
“Nak kenapa kamu murung?”. Kata guruku
saat lagi belajar malah melongo kedepan meja.
“Eh pak guru, ini Pak lagi
kehilangan sesuatu.”, sambil ayunkan kepala.
“Kehilangan uang?”, tanya pak guru
lagi.
“Bukan pak, kehilangan mutiara
indah.”, jawabku keceplosan.
“Wah yang bener?, dimana dimana?”
Teeeeeeeeeeeeeeeeetttttt
Bel pulang sekolah mengakhiri
pembicaraan itu.