Seorang wanita baik-baik, ia sholehah dan penurut kepada
orang tuanya, sebut saja namanya Husna. Diusianya yang kedua puluh ia dijodohkan
dengan seorang pemuda putra Kiyai terpandang, saat berta’aruf pemuda itu ucapnya
santun berkilau, lakunya baik gemilau. Pemuda itu membuat Husna dengan kerelaan
hati menerimanya sebagai pelabuhan cinta. Sebagai suami.
Namun sebulan setahun perjalanan kisah kasih mereka mulai
terombang ambing badai kebohongan, ternyata sang suami tak sesantun saat
pertama menyapa, tak sebaik saat pertama berjumpa. Ia perlihatkan sifat aslinya
yang kasar, anak seorang Kiyai tidak berarti menjadikan lelaki itu soleh, suami
Husna sering keluar malam pulang pagi, tidur siang bangun senja. Sungguh bathin
dan raga Husna bagai tertusuk-tusuk panah yang tak henti menghunus. Ia tak
kuasa menceraikan sang suami karena malu terhadap orang tua dan masyarakat.
Husna dan suaminya dipandang sebagai keluarga baik, padahal didalam rumah Husna
terpenjara kebohongan sang suami yang bertubi-tubi melukai.
“Ya Allah, Aku sudah berusaha mencari suami yang soleh
menurut penglihatan mataku, menurut pendengaran telingaku, dan menurut perasaan
batinku, tetapi mengapa ?, mengapa engkau jodohkan aku dengan lelaki yang
jangankan membahagiakanku, menyapaku dengan senyum pun ia tiada mau. Ya Allah,
adakah yang salah dengan hamba-Mu ini ?”, lirih Husna dalam hampar sajadah
berteman air mata.
Kisah diatas mungkin teralami juga oleh sebagian orang, maka
jelas jodoh adalah sebuah “misteri”, orang yang sedang disampingmu belum tentu
menjadi jodoh sejatimu, suami atau istrimu belum tentu jodoh abadimu. Maka sederet
kehidupan tetaplah akan tertimbun longsor segumpal serintik batu ujian.
Pasangan yang baik bisa jadi ujian, pasangan yang buruk bisa jadi kenikmatan. Tergantung
bagaimana iman berperan didalamnya.
Mungkin lisanmu akan berucap “Aduh so sweeeeeet” saat
membaca romansa cinta antara Muhammad dan Khodijah, antara Fatimah dan Ali,
atau antara Ibrahim dan Hajar. Mereka berpasangan dengan kekasih yang sama-sama
mulia hingga dramanya mensenyumi dunia, hingga kisahnya sampai kesyurga. Tapi
bagaimana jika didunia ini kita berdamping berpasang, berpeluk berdekap, dengan
pasangan yang keji lagi jahat ?, seperti kisah Husna diatas ?
Mari sejenak menengok rumah seorang Asiyah, drama
percintaannya dibumbui dengan asamnya ujian. Yang seharusnya kekasih semadu
secinta menjadi kereta menuju syurga Illahi , akan tetapi kebebalan sang suami
membuat mereka terpisah, Asiyah pergi ketaman taqwa, suaminya pergi kegurun
dosa. Itulah, Asiyah memang solehah, tetapi Allah uji dengan menyandingkan
raganya bersama makhluk terlaknat yang sudah tervonis masuk kepenjara neraka,
Fir’aun.
Namun meski demikian, Asiyah tetap memegang iman dalam
kepalan yang sulit terlepas, ia menjalani mahligai kasih bukan “dengan siapa”,
tetapi “karena siapa”. Jadi siapapun pendamping hidup, mau baik mau jahat, mau
santun mau kasar, mau soleh mau bebal. Jika semuanya terjalani karena Allah
maka insya Allah. Hadiah bernama syurga akan diberikan atas prestasinya
mengalahkan keputus asaan dengan kesabaran.
“Bangunkan untukku rumah disisi-MU, disyurga terjanji itu”,
itulah sebait do’a pamungkas seorang Asiyah dengan keyakinan melangit. Bahwa asam
kesabaran akan terbalas manis kenikmatan. Dan sungguh tiada cicipan paling
nikmat selain ridho Allah yang bersanding dengan hidangan lezat bernama Syurga.
Asiyah pun bertemu jodoh abadinya disyurga kelak. Insya Allah.
Maka resapilah, Jodoh itu sudah
tertulis, tidak akan tertukar, yg kemudian menjadi ujian bagi kita adalah
bagaimana cara menjemputnya, jika caramu seperti fatimah, insya allah jodohmu
spt Ali, jika caramu seperti ummu jamil, jodohmu bisa seperti abu lahab.
Tapi jodoh jua adalah taqdir,
seperti Asiyah yg ditaqdirkan berjodoh dgn fir'aun, namun karena hidupnya
karena Allah, ia tetap mulia dan berjodoh dgn penghuni Syurga, sekalipun
suaminya terlaknat
Jadi intinya... yg terpenting bukan dgn siapa kita berjodoh, tapi karena siapa kita berjodoh, beda cara beda rasa dalam cinta, dan tentu beda keberkahan, jika caranya baik... bersiaplah ! Syurga merindukanmu.
Duhai kaum hawa yang semoga tetesan
keteguhan Asiyah merintik digersangnya hidupmu, mengertilah bahwa penderitaan
seorang wanita bukan dimulai dari rahim siapa ia dilahirkan, tetapi penderitaan
seorang wanita dimulai saat ia salah memilih pendamping. Jika sudah terlanjur
salah memilih pendamping maka perankan Asiyah dalam lika-liku rumah tanggamu.
Lalu
jika kebersamaan itu tetap mengguyur derita yang tak pernah reda, boleh
curhatkan kepengadilan agama. Jika ketuk palu berbicara untuk bercerai,
bercerailah !, engkau tetaplah manusia, engkau berhak untuk bahagia
Perceraian adalah cara halal yang
dibenci Allah, namun jika itu terpaksa terjadi maka akhiri seperti berakhirnya
hujan. Walau rintikannya reda tetapi hujan selalu meninggalkan pelangi setelah
kepergiaannya.
Mari berdoa, semoga jodoh kita seindah
senyuman. Semoga tak ada perceraian dalam berai kehinaan, semoga tidak ada
derita dalam pukulan kebohongan. Semoga jodoh kita adalah jodoh dunia Akhirat,
seutuhnya, sepenuhnya. Aamiin.
0 komentar:
Posting Komentar