Wanita sehebat Fatimah

Rabu, 25 Juni 2014


Fatimah Az-Zahra dilahirkan pada tahun ke-5 setelah Muhammad saw diutus menjadi Nabi, bertepatan dengan tiga tahun setelah peristiwa Isra' dan Mikraj beliau.  Ia lahir pada hari Jumat, 20 Jumadil Akhir, di kota suci Makkah. Dan dimulailah sang penghulu syurga itu (Insya Allah) dengan bara keberaniannya dan dingin kesederhanaannya menyatu menghangatkan senafas detak, sedetak nafas.

 “Wahai ‘Aisyah, jika engkau tahu apa yang aku ketahui tentang Fatimah, niscaya engkau akan mencintainya sebagaimana aku mencintainya. Fatimah adalah darah dagingku. Ia tumpah darahku. Barang siapa yang membencinya, maka ia telah membenciku, dan barang siapa membahagiakannya, maka ia telah membahagiakanku.”, itulah seobrol sebincang Nabi tentang Fatimah pada istrinya, ini menunjukan betapa sang Nabi mencintai putrinya itu dengan cinta yang teramat luas.

Ketika Ibunya siti Khodijah melambai tangan meninggalkan dunia, Fatimah yang saat itu baru berusia 6 tahun. Dengan tangan ikhlas merawat sang Ayah Rosulullah Muhmmad, ia gantikan peran ibunya demi marawat senyuman sang Ayah.

Ketika petir ujian menggelegar bersama guyuran hujan caci maki membasahi sang Nabi, Fatimah yang wajahnya lembut berdiri berpasang badan segagah seberani memarahi para pencaci, hingga tawa-tawa sombong kaum Quraiys terbungkam dengan keberanian si gadis belia itu. Cintanya kepada sang Ayah adalah cinta yang sejati, waktu remaja tak ia gunakan untuk mencentil ria, menglebay ceria, atau mengalay suka. Ia gunakan waktu emas itu untuk berbakti menghadiahkan cinta bagi sang Ayah.

Rosulullah terlempar kotoran unta, sang Az-Zahra ini menangis pedih sembari mengusap memebersihkan wajah rosulullah. Pun ketika bebatuan menampar sang rosul hingga luka demi luka datang berlarian. Fatimah setia membalut, mengobati luka itu. Ia bagai air dan mentari, keduanya tumbuhkan sepohon senyum sang Nabi.  Untuk itu, Rasulullah saw memanggilnya dengan julukan Ummu Abiha, yaitu ibu bagi ayahnya, karena kasih sayangnya yang sedemikian tercurah, sedemikan terpercik kepada ayahandanya.

Kisah cintanya pun tak luput dari sorotan keteladan. Saat usianya meremaja mulailah ia diperkenalkan dengan seasma cinta, tetapi ia pandai menyembunyikan serasa itu, “mencintai dalam diam”, bahkan katanya setanpun terperangah tak tahu menau tentang satu rasa yang hinggap dihati gadis itu.

 Cinta bagai angin yang berhembus, kedatangannya tak bisa ditepis, ia tak terlihat namun dahsyat terasa, panahnya menusuk kedalam jantung hati hingga detakannya tergeletak tak berdaya, dan berharap si dia mengulurkan tangannya agar dapat berdiri diatas tapak bahagia.

 

Perasaan cinta itu hinggap namun tak sanggup terdeklarasikan dalam kata. Maka ada istilah "Mencintai dalam Diam".

 

Fatalnya... banyak diantara kita menggunakan istilah itu untuk menari diatas panggung kesalahan atas nama cinta, memandangi wajah sang pujaan dari kejauhan, melihat foto dan wall FB nya, menghayal hidup bersamanya. Indah memang, tetapi itulah penipuan yang hanya akan merugikan mahalnya waktumu.

 

Maka mencintai dalam diam bukan berarti harus memperhatikannya, seharusnya kita  memantaskan agar hidup bersama sang pujaan menjadi sebuah kenyataan. berdoa, mengadukan curahan hati pada Allah, dan semakin taat pada-Nya, itu adalah cara terbaik "mencintainya dalam diam"

 

Sadarilah,... Ketika engkau mencintai, yang harus kau lakukan adalah menempatkan Allah dihatimu, karena ketika Allah jatuh cinta pada ketaatanmu, segala doa kan terkabul, sekala pinta kan diberi. Dan Insha Allah.. ia yang kau cintai akan menjemput rasamu dalam belai pelaminan.

Begitulah seni "mencintai dalam diam" ala Fatimah Az-Zahra.

Wajahnya yang elok dan pesona akhlaknya yang mewangi membuat para pria terhormat menggantung harap, mereka impikan memiliki istri putri manusia paling mulia itu. Namun penolakan demi penolakan tersampaikan, Rosul sedang menunggui petunjuk Allah untuk menentukan siapa pangeran terbaik bagi putrinya itu.

Banyak lelaki yang tertolak, bahkan lelaki semulia Abu Bakr atau seterhormat Umar Bin Khottob pun harus menerima taqdir tak bisa bersanding dengan Fatimah. Lalu siapakah yang akan uluran tangan cintanya tersambut ?.

Yah, Laki-laki itu adalah Ali bin Abi Thalib, sang pemeluk islam pertama dari kalangan anak-anak ini melamar Fatimah dengan rona malu-malu, ia menyadari tiada punya apa-apa. Namun cinta bagaikan angin yang berhembus, tiada alasan apapun, hembusannya tak bisa ditepis. Ia menyapa sipapun yang ada dihadapnnya. Tak terlihat memang, namun rasanya dahsyat melangit
.
“Wahai Fatimah, Ali bin Abi Thalib adalah orang yang telah kau kenali kekerabatan, keutamaan, dan keimanannya. Sesungguhnya aku telah memohonkan pada Tuhanku agar menjodohkan engkau dengan sebaik-baik mahkluk-Nya dan seorang pecinta sejati-Nya. Ia telah datang menyampaikan pinangannya atasmu, bagaimana pendapatmu atas pinangan ini?", tanya sang Nabi pada Fatimah. 

Fatimah lalu menjawab dengan diam, lalu Rasulullah pun mengangkat suaranya seraya bertakbir, “Allahu Akbar! Diamnya adalah tanda kerelaannya”. Ternyata sang gadis menerima pinangan pemuda itu, Ali bin Abi Thalib.

Kemudian diacara pernikahan keduanya, Nabi saw menuntun Ali dan mendudukkannya di samping Fatimah. Beliau berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya keduanya adalah makhluk-Mu yang paling aku cintai, maka cintailah keduanya, berkahilah keturunannya, dan peliharalah keduanya. Sesungguhnya aku menjaga mereka berdua dan keturunannya dari setan yang terkutuk.” 

Rasulullah mencium keduanya sebagai tanda ungkapan selamat berbahagia. Kepada Ali, beliau berkata, “Wahai Ali, sebaik-baik istri adalah istrimu.”. Dan kepada Fatimah, beliau menyatakan, “Wahai Fatimah, sebaik-baik suami adalah suamimu”.

Dimalam berpengantin, Fatimah menyempatkan untuk meromansa dalam canda. 

“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda”, ‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau menikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”. “Barakallah Laka Wa baarakallahu alaika… Wa jama’a bainakumaa bi khaiir…”, perayaan cinta yang indah, begitu mempesona.
Selanjutnya Fatimah dan Ali merajut rumah cinta dengan rajutan taqwa, saling memahami, tolong menolong, dan saling menghormati. Keduanya bahagia karena tertuntun keimanan, tergandeng ketaqwaan.
Hasan, Husain,  Zainab, dan Ummu Kultsum. Adalah putra putri yang terlahir dari rahim Fatimah, mereka terdidik dengan madrasah cinta yang dibangun sang Fatimah.
Duhai engkau wanita yang semoga keteladan Fatimah hinggap disetiap detak jantungmu, jadilah wanita sesolehah fatimah. Walau sulit menyamai tetapi ikhtiar harus ramai diperbincangkan, berusaha harus rajin didendangkan.
Adalah Fatimah sang teladan, wanita solehah yang menjadi madrasah cinta bagi anak-anaknya, menjadi telaga kasih bagi suaminya.

Kesantunan rangkai ucapnya, ketaatan bingkai lakunya, dan kebaikan helai akhlaknya menjadi firdaus yang keindahanya tak sanggup tertembus oleh mata, ia tertembus oleh hati hingga melahirkan senyuman dari rahim cinta.

Adalah Fatimah sang teladan, wanita solehah yang menghidangkan cicipan-cicipan syurga sepagi sepetang bagi raja tergagah bernama suami, sesiang semalam bagi prajurit kecil bernama anak-anak. Setiap tuturnya menjadi melodi menyejukan, setiap gerak lakunya menjadi irama menghangatkan, dan setiap akhlaknya menjadi istana membahagiakan.
Maka ikhtiarkan diri menjadi Fatimah selanjutnya, sepenuh kasih, seutuh cinta.

.

0 komentar:

Posting Komentar