Fatimah Az-Zahra
dilahirkan pada tahun ke-5 setelah Muhammad saw diutus menjadi Nabi, bertepatan
dengan tiga tahun setelah peristiwa Isra' dan Mikraj beliau. Ia lahir pada hari Jumat, 20 Jumadil Akhir, di
kota suci Makkah. Dan dimulailah sang penghulu syurga itu (Insya Allah)
dengan bara keberaniannya dan dingin kesederhanaannya menyatu menghangatkan
senafas detak, sedetak nafas.
“Wahai
‘Aisyah, jika engkau tahu apa yang aku ketahui tentang Fatimah, niscaya engkau
akan mencintainya sebagaimana aku mencintainya. Fatimah adalah darah dagingku.
Ia tumpah darahku. Barang siapa yang membencinya, maka ia telah membenciku, dan
barang siapa membahagiakannya, maka ia telah membahagiakanku.”, itulah seobrol
sebincang Nabi tentang Fatimah pada istrinya, ini menunjukan betapa sang Nabi
mencintai putrinya itu dengan cinta yang teramat luas.
Ketika Ibunya siti Khodijah melambai tangan
meninggalkan dunia, Fatimah yang saat itu baru berusia 6 tahun. Dengan tangan
ikhlas merawat sang Ayah Rosulullah Muhmmad, ia gantikan peran ibunya demi
marawat senyuman sang Ayah.
Ketika petir ujian menggelegar bersama guyuran
hujan caci maki membasahi sang Nabi, Fatimah yang wajahnya lembut berdiri berpasang
badan segagah seberani memarahi para pencaci, hingga tawa-tawa sombong kaum
Quraiys terbungkam dengan keberanian si gadis belia itu. Cintanya kepada sang
Ayah adalah cinta yang sejati, waktu remaja tak ia gunakan untuk mencentil ria,
menglebay ceria, atau mengalay suka. Ia gunakan waktu emas itu untuk berbakti
menghadiahkan cinta bagi sang Ayah.
Rosulullah terlempar kotoran unta, sang Az-Zahra
ini menangis pedih sembari mengusap memebersihkan wajah rosulullah. Pun ketika
bebatuan menampar sang rosul hingga luka demi luka datang berlarian. Fatimah
setia membalut, mengobati luka itu. Ia bagai air dan mentari, keduanya tumbuhkan
sepohon senyum sang Nabi. Untuk itu,
Rasulullah saw memanggilnya dengan julukan Ummu Abiha, yaitu ibu bagi
ayahnya, karena kasih sayangnya yang sedemikian tercurah, sedemikan terpercik
kepada ayahandanya.
Kisah cintanya pun tak luput dari sorotan
keteladan. Saat usianya meremaja mulailah ia diperkenalkan dengan seasma cinta,
tetapi ia pandai menyembunyikan serasa itu, “mencintai dalam diam”, bahkan
katanya setanpun terperangah tak tahu menau tentang satu rasa yang hinggap
dihati gadis itu.
Cinta bagai angin yang berhembus, kedatangannya tak bisa ditepis, ia tak terlihat namun dahsyat terasa, panahnya menusuk kedalam jantung hati hingga detakannya tergeletak tak berdaya, dan berharap si dia mengulurkan tangannya agar dapat berdiri diatas tapak bahagia.
Perasaan cinta itu hinggap namun tak sanggup terdeklarasikan dalam kata. Maka ada istilah "Mencintai dalam Diam".
Fatalnya... banyak diantara kita menggunakan istilah itu untuk menari diatas panggung kesalahan atas nama cinta, memandangi wajah sang pujaan dari kejauhan, melihat foto dan wall FB nya, menghayal hidup bersamanya. Indah memang, tetapi itulah penipuan yang hanya akan merugikan mahalnya waktumu.
Maka mencintai dalam diam bukan berarti harus memperhatikannya, seharusnya kita memantaskan agar hidup bersama sang pujaan menjadi sebuah kenyataan. berdoa, mengadukan curahan hati pada Allah, dan semakin taat pada-Nya, itu adalah cara terbaik "mencintainya dalam diam"
Sadarilah,... Ketika engkau mencintai, yang harus kau lakukan adalah menempatkan Allah dihatimu, karena ketika Allah jatuh cinta pada ketaatanmu, segala doa kan terkabul, sekala pinta kan diberi. Dan Insha Allah.. ia yang kau cintai akan menjemput rasamu dalam belai pelaminan.
Begitulah seni "mencintai dalam diam" ala Fatimah Az-Zahra.
Cinta bagai angin yang berhembus, kedatangannya tak bisa ditepis, ia tak terlihat namun dahsyat terasa, panahnya menusuk kedalam jantung hati hingga detakannya tergeletak tak berdaya, dan berharap si dia mengulurkan tangannya agar dapat berdiri diatas tapak bahagia.
Perasaan cinta itu hinggap namun tak sanggup terdeklarasikan dalam kata. Maka ada istilah "Mencintai dalam Diam".
Fatalnya... banyak diantara kita menggunakan istilah itu untuk menari diatas panggung kesalahan atas nama cinta, memandangi wajah sang pujaan dari kejauhan, melihat foto dan wall FB nya, menghayal hidup bersamanya. Indah memang, tetapi itulah penipuan yang hanya akan merugikan mahalnya waktumu.
Maka mencintai dalam diam bukan berarti harus memperhatikannya, seharusnya kita memantaskan agar hidup bersama sang pujaan menjadi sebuah kenyataan. berdoa, mengadukan curahan hati pada Allah, dan semakin taat pada-Nya, itu adalah cara terbaik "mencintainya dalam diam"
Sadarilah,... Ketika engkau mencintai, yang harus kau lakukan adalah menempatkan Allah dihatimu, karena ketika Allah jatuh cinta pada ketaatanmu, segala doa kan terkabul, sekala pinta kan diberi. Dan Insha Allah.. ia yang kau cintai akan menjemput rasamu dalam belai pelaminan.
Begitulah seni "mencintai dalam diam" ala Fatimah Az-Zahra.
Wajahnya yang elok dan pesona akhlaknya yang
mewangi membuat para pria terhormat menggantung harap, mereka impikan memiliki
istri putri manusia paling mulia itu. Namun penolakan demi penolakan
tersampaikan, Rosul sedang menunggui petunjuk Allah untuk menentukan siapa
pangeran terbaik bagi putrinya itu.
Banyak lelaki yang tertolak, bahkan lelaki
semulia Abu Bakr atau seterhormat Umar Bin Khottob pun harus menerima taqdir
tak bisa bersanding dengan Fatimah. Lalu siapakah yang akan uluran tangan
cintanya tersambut ?.
Yah, Laki-laki itu adalah Ali bin Abi Thalib,
sang pemeluk islam pertama dari kalangan anak-anak ini melamar Fatimah dengan
rona malu-malu, ia menyadari tiada punya apa-apa. Namun cinta bagaikan angin
yang berhembus, tiada alasan apapun, hembusannya tak bisa ditepis. Ia menyapa
sipapun yang ada dihadapnnya. Tak terlihat memang, namun rasanya dahsyat
melangit
.
“Wahai Fatimah, Ali bin Abi Thalib adalah orang
yang telah kau kenali kekerabatan, keutamaan, dan keimanannya. Sesungguhnya aku
telah memohonkan pada Tuhanku agar menjodohkan engkau dengan sebaik-baik
mahkluk-Nya dan seorang pecinta sejati-Nya. Ia telah datang menyampaikan
pinangannya atasmu, bagaimana pendapatmu atas pinangan ini?", tanya sang
Nabi pada Fatimah.
Fatimah lalu menjawab dengan diam, lalu
Rasulullah pun mengangkat suaranya seraya bertakbir, “Allahu Akbar! Diamnya
adalah tanda kerelaannya”. Ternyata sang gadis menerima pinangan pemuda itu,
Ali bin Abi Thalib.
Kemudian diacara pernikahan keduanya, Nabi saw
menuntun Ali dan mendudukkannya di samping Fatimah. Beliau berdoa, “Ya Allah,
sesungguhnya keduanya adalah makhluk-Mu yang paling aku cintai, maka cintailah
keduanya, berkahilah keturunannya, dan peliharalah keduanya. Sesungguhnya aku
menjaga mereka berdua dan keturunannya dari setan yang terkutuk.”
Rasulullah mencium keduanya sebagai tanda
ungkapan selamat berbahagia. Kepada Ali, beliau berkata, “Wahai Ali,
sebaik-baik istri adalah istrimu.”. Dan kepada Fatimah, beliau menyatakan,
“Wahai Fatimah, sebaik-baik suami adalah suamimu”.
Dimalam berpengantin, Fatimah menyempatkan untuk
meromansa dalam canda.
“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu.
Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda”, ‘Ali terkejut dan
berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau menikah denganku? dan Siapakah pemuda
itu?”
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena
pemuda itu adalah Dirimu”. “Barakallah Laka Wa baarakallahu alaika…
Wa jama’a bainakumaa bi khaiir…”, perayaan cinta yang indah, begitu mempesona.
Selanjutnya Fatimah dan Ali merajut rumah cinta
dengan rajutan taqwa, saling memahami, tolong menolong, dan saling menghormati.
Keduanya bahagia karena tertuntun keimanan, tergandeng ketaqwaan.
Hasan, Husain, Zainab, dan Ummu Kultsum. Adalah putra putri
yang terlahir dari rahim Fatimah, mereka terdidik dengan madrasah cinta yang
dibangun sang Fatimah.
Duhai engkau wanita yang semoga keteladan Fatimah
hinggap disetiap detak jantungmu, jadilah wanita sesolehah fatimah. Walau sulit
menyamai tetapi ikhtiar harus ramai diperbincangkan, berusaha harus rajin
didendangkan.
Adalah Fatimah sang
teladan, wanita solehah yang menjadi madrasah cinta bagi anak-anaknya, menjadi
telaga kasih bagi suaminya.
Kesantunan rangkai
ucapnya, ketaatan bingkai lakunya, dan kebaikan helai akhlaknya menjadi firdaus
yang keindahanya tak sanggup tertembus oleh mata, ia tertembus oleh hati hingga
melahirkan senyuman dari rahim cinta.
Adalah Fatimah sang teladan,
wanita solehah yang menghidangkan cicipan-cicipan syurga sepagi sepetang bagi raja tergagah bernama suami,
sesiang semalam bagi prajurit kecil bernama anak-anak. Setiap tuturnya menjadi
melodi menyejukan, setiap gerak lakunya menjadi irama menghangatkan, dan setiap
akhlaknya menjadi istana membahagiakan.
Maka ikhtiarkan diri
menjadi Fatimah selanjutnya, sepenuh kasih, seutuh cinta.
.
.
0 komentar:
Posting Komentar